Assalamu'alaikum wr.wb
Menerima atau menolak pinangan dari seseorang sama-sama hak seorang
wanita. Bahkan pinangan Sa’ad bin Abi Waqqash ra. kepada janda mendiang
Mutsanna bin Haritsah tidak langsung diterima. Kecuali setelah melalui
berbagai proses panjang yang tidak mudah.
Ketika seorang wanita merasa tidak sreg dengan keadaan laki-laki yang
meminangnya, tidak ada yang salah. Baik alasan itu bersifat syar’i,
maupun bersifat pribadi. Sebab ketika seorang wanita memutuskan untuk
menerima pinangan itu, resikonya jelas. Yaitu untuk selanjutnya, dirinya
hidup di bawah suaminya. Dia harus hidup bersamanya, taat, tunduk dan
patuh kepada suaminya. Bahkan surganya ditentukan oleh bagaimana
sikapnya kepada suaminya.
Kalau seorang wanita merasa tidak nyaman dengan seorang calon suami,
tentu di masa berikutnya akan menjadi problem berat. Dan ini adalah soal
selera, di mana Islam justru sangat memperhatikan kebebasan seorang
wanita untuk memiliki selera dengan tipe laki-laki yang akan menjadi
pendamping hidupnya.
Di dalam syariah Islam, seorang ayah dilarang untuk untuk memaksakan
jodoh untuk anak wanitanya. Apalagi sekedar seorang calon suami, di mana
lamarannya itu sangat tergantung dari penerimaan pihak calon istri.
Maka calon istri punya hak dan wewenang sepenuhnya untuk menerima sebuah
lamaran atau menolaknya. Baik dengan alasan yang masuk akal bagi
pelamar maupun tidak. Sebab bisa saja faktor penolakannya itu merupakan
hal yang tidak ingin disebutkan secara terbuka.
Adapun hadits yang menyebutkan akan terjadi fitnah bila seorang
wanita menolak lamaran laki-laki yang shalih, tentu harus dipahami
dengan lengkap dan jernih. Hadits itu bukan dalam posisi untuk
menetapkan bahwa sebuah lamaran dari laki-laki yang shalih itu haram
ditolak. Tidak demikian kandungan hukumnya.
Sebab kalau demikian, bagaimana dengan lamaran seorang laki-laki
shalih kepada seorang puteri raja atau pembesar, di mana kedua tidak
sekufu atau memang tidak saling cocok satu dengan yang lain? Apakah
puteri raja itu berdosa bila menolak lamaran dari seorang yang tidak
disukainya?
Bahkan di dalam syariah Islam, seorang wanita yang sudah menikah
namun merasa tidak cocok dengan suaminya, masih punya hak untuk bercerai
dari suaminya. Apa lagi baru sekedar lamaran dari laki-laki yang sudah
punya istri pula.
Dari Ibnu Abbas ra.: Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang kepada
Rasulullah SAW, ia berkata: Wahai Rasulullah, Aku tidak mencelanya dalam
hal akhlaknya maupun agamanya, akan tetapi aku benci kekufuran dalam
Islam. Maka Rasulullah SAW berkata padanya, Apakah kamu mengembalikan
pada suamimu kebunnya? Wanita itu menjawab, Ya. Maka Rasulullah SAW
berkata kepada Tsabit, Terimalah kebun tersebut dan ceraikanlah ia 1
kali talak.
Agar tidak menjadi fitnah, tentu ada cara penolakan yang halus dan
lembut, tanpa menyinggung perasaan, namun si pelamar itu bisa menerima
intisarinya, yaitu penolakan. Sehingga fitnah yang dikawatirkan itu
tidak perlu terjadi.
Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ
حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ
أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan
dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum
meminta izin darinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana
mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا
“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya,
sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya.
Dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Muslim no. 1421)
Dari Khansa’ binti Khidzam Al-Anshariyah radhiallahu anha:
أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهَا
“Bahwa ayahnya pernah menikahkan dia -ketika itu dia janda-
dengan laki-laki yang tidak disukainya. Maka dia datang menemui Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam (untuk mengadu) maka Nabi shallallahu
alaihi wasallam membatalkan pernikahannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5138)
Al-Bukhari memberikan judul bab terhadap hadits ini, “Bab: Jika
seorang lelaki menikahkan putrinya sementara dia tidak senang, maka
nikahnya tertolak (tidak sah).”
Penjelasan ringkas:
Di antara kemuliaan yang Allah Ta’ala berikan kepada kaum wanita
setelah datang Islam adalah bahwa mereka mempunyai hak penuh dalam
menerima atau menolak suatu lamaran atau pernikahan, yang mana hak ini
dulunya tidak dimiliki oleh kaum wanita di zaman jahiliah. Karenanya
tidak boleh bagi wali wanita manapun untuk memaksa wanita yang dia
walikan untuk menikahi lelaki yang wanita itu tidak senangi.
Karena menikahkan dia dengan lelaki yang tidak dia senangi berarti
menimpakan kepadanya kemudharatan baik mudharat duniawiah maupun
mudharat diniah (keagamaan). Dan sungguh Nabi shallallahu alaihi
wasallam telah membatalkan pernikahan yang dipaksakan dan pembatalan ini
menunjukkan tidak sahnya, karena di antara syarat sahnya pernikahan
adalah adanya keridhaan dari kedua calon mempelai.
Akan tetapi larangan memaksa ini bukan berarti si wali tidak punya
andil sama sekali dalam pemilihan calon suami wanita yang dia walikan.
Karena bagaimanapun juga si wali biasanya lebih pengalaman dan lebih
dewasa daripada wanita tersebut. Karenanya si wali disyariatkan untuk
menyarankan saran-saran yang baik lalu meminta pendapat dan izin dari
wanita yang bersangkutan sebelum menikahkannya. Tanda izin dari wanita
yang sudah janda adalah dengan dia mengucapkannya, sementara tanda izin
dari wanita yang masih perawan cukup dengan diamnya dia, karena biasanya
perawan malu untuk mengungkapkan keinginannya.
wallahu’alam bish shawab
sumber : http://www.akhwatmuslimah.com/2015/09/04/3183/hukum-menolak-lamaran-dan-ortu-menikahkan-dengan-paksa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kritik dan Sarannya .